Oleh: Uda Agus
“Ambil..!”
Kak Tiwi menunjuk pada plastik bungkus kacang goreng yang baru saja kubuang ke
halaman. Buru-buru aku mengambilnya dan berjalan ke belakang rumah, membuang
sampah itu ke lubang sampah, sesuai dengan perintah Kak Tiwi. Lalu kembali ke
halaman depan.
Kak Tiwi yang sedang duduk di teras depan sambil membaca
novel melihat ke arahku, matanya mengisyaratkan agar aku menghampirinya. Aku yakin, pasti akan dimarahi lagi
seperti biasanya, kalau aku membuang sampah sembarangan.
Begitu sampai di hadapan Kak
Tiwi, dia merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.
“Tolong belikan kakak makanan
kecil di warung ujung jalan. Apa aja
boleh, kalau Tia mau jajan juga,
silahkan!” aku mengambil uang itu dan berlalu.
Tumben… tak seperti biasanya.
Biasanya Kak Tiwi akan menceramahiku panjang lebar, tentang sampah, bahaya
sampah, masalah penyakit dan bahkan sampai pada masalah banjir. Tapi kali
ini…aku tersenyum. Apa Kak Tiwi sudah capek? Capek memarahiku terhadap hal-hal
yang itu-itu saja. Biasanya aku hanya mengangguk-angguk mendengar khotbah Kak Tiwi, namun setelah itu aku
akan melupakannya. Masuk telilnga kiri, keluar telinga
kanan.
***
Semua orang di rumah tahu kalau Kak Tiwi paling anti
sama yang namanya sampah, apapun bentuknya. Kalau Kak Tiwi ada di rumah, maka
rumah akan selalu kelihatan bersih, halaman selalu bersih, juga dapur dan kamar
mandi tentunya. Sampah-sampah baik itu yang dari rumah atau dapur, maupun dari
halaman biasanya ditumpuk di kebun belakang dan tiap hari selalu dibakar. Jangankan aku, ibu sama bapak pun kalau
ketahuan membuang sampah sembarangan akan kena semprotan Kak Tiwi. Memang
kurasa sangat sulit menemukan orang seperti Kak Tiwi saat ini.
“Allah itu indah dan cinta
akan keindahan,” begitu selalu katanya. Atau dia juga sering mengatakan, “Kita
diciptakan untuk menjaga alam dan lingkungan, bukan untuk merusaknya.”
Itu kalau Kak Tiwi ada di
rumah. Kalau dia sudah kembali ke tempat kostnya, maka sudah dapat dipastikan
rumah akan penuh dengan sampah (he..he..he…nggak ding), hanya saja rumah tak akan lagi serapi biasanya.
Sampah-sampah di kebun belakang juga jarang dibakar. Paling seminggu sekali,
itupun kalau aku ingat atau kalau ibu sudah sampai keringatan menyuruhku.
Seperti katanya siang ini.
“Tia… nanti sehabis makan,
sampah di belakang dibakar ya?” aku
mengangguk, tapi belum selesai aku makan, Rini teman sekelasku datang,
mengajak ke rumahnya. Jadilah aku lupa sama pesan ibu. Aku bukannya melupakan… tapi
besok-besokkan bisa. Lagipula katanya Kak Tiwi minggu ini tidak pulang, lagi sibuk
belajar menghadapi ujian semester.
***
Aku sepertinya baru sepuluh
menit tertidur, ketika terdengar suara dengungan yang sangat mengganggu.
“Tia..!” itu teriakan ibu.
Bergegas aku keluar kamar sambil melirik jam di dinding kamar, baru pukul tiga
sore, huh…tidur siangku jadi
terganggu nih.
“Ada apa, Bu?” ibu kujumpai di
dapur, sedang memandang ke luar dari pintu belakang.
“Lihat…”
“Masyaallah…” aku ngeri, jijik, namun juga terpesona. Di belakang rumahku ada bukit,
bukan…itu sampah yang saking banyaknya sudah membukit. Tapi bukan itu yang
membuatku jijik, melainkan ratusan, oh tidak…ribuan atau mungkin jutaan lalat-lalat
yang beterbangan di sekitar bukit sampah itu. Dan tentu saja, suara dengungan
itu berasal dari
“Tia, sudah berapa hari kau tidak membakar sampah ini?”
Aku berpikir, berapa ya? “Mungkin sebulan, Bu..”
“Sebulan…? Tapi kok…” aku juga heran, sampah itu sudah
melewati atap rumah kami. Mungkinkah sampah-sampah itu juga berkembang biak?
Tiba-tiba bukit sampah itu bergetar, lalat-lalat menjauh
dan…
“Lari Tia…bukit sampah itu mau
ambruk.”
Aku masih kaget dengan
kejadian yang tiba-tiba itu. Aku berbalik mengejar ibu, tapi…karena
terburu-buru aku tersandung, jatuh dan…bukit sampah itu telah menimbunku.
“Tidaaak!” aku berteriak
sekuat tenaga.
“Tia….Tia…bangun.” kubuka
mataku, ibu tampak duduk di samping tempat tidurku. Ya Allah…mimpi.
Bergegas aku bangkit, berjalan
ke luar kamar.
“Mau kemana, Tia?”
“Tia belum membakar sampah di
belakang, Bu?”
ibu tersenyum. “Sudah…sudah
ibu bakar, lagipula ini tengah malam. Kalau mau bakar sampah besok saja.”
Aku melirik jam di dinding,
00.15 Wib. Tiba-tiba aku ingat Kak Tiwi. [*]
***
Jangan lupa, ikuti SAYEMBARA MENULIS CERITA ANAK, baca infonya di LMBUA 2024
Komentar
Posting Komentar