CERPEN: LELAKI YANG DIBELI


LELAKI YANG DIBELI
Karya Uda Agus

Datuak Bandaro Rajo berdiri dengan tergesa. Bergegas dia melangkah menuju pintu. Kesabarannya habis sudah. Harga dirinya sebagai kepala penghulu di kaum ini terasa diinjak-injak. Sedikitpun keluarga Sutan Siri tidak mendengarkan perkataannya. Lalu untuk apa dia diundang ke pertemuan ini?

“Datuak… tunggu dulu!” Sutan Siri turut berdiri. Turut bergegas menuju pintu. Berusaha menghalangi Datuak Bandaro Rajo menuruni anak tangga rumah gadang. Berpasang mata menyaksikan. Semua tahu. Datuak Bandaro Rajo sedang marah.

Syahrial duduk menekur makin dalam. Dia tahu, kemarahan Datuak Bandaro Rajo karena perkataannya barusan.

Ada apa lagi Sutan? Ambo sudah mengusulkan dan ambo sudah mendengar keputusan yang Sutan dan keluarga ambil, berarti urusan selesai, ambo mohon pamit.”

“Kami ingin Datuak merestui langkah yang kami ambil. Datuak, biarkan Syahrial melangkah dengan keputusan yang diambilnya. Sepertinya apa yang tadi dikatakannya sama sekali tidak salah.” Sutan Siri berusaha membujuk Datuak agar duduk lagi.

“Sutan, ambo penghulu adat di kampung kita. Seluruh permasalahan adat turun temurun dari dulu selalu diselesaikan secara adat. Keputusan yang Syahrial berikan telah menentang adat. Ambo tidak mungkin merestui.”

“Tapi Datuak…!”

“Permisi… Assalamualaikum…”

Datuak Bandaro Rajo menuruni satu demi satu anak tangga rumah gadang dengan langkah cepat. Sutan Siri masih berusaha memanggil. Datuak sama sekali tidak menghiraukan. Dia benar-benar merasa telah dilecehkan. Dia penghulu adat kaum kutianyir, seekor kerbau dipotong untuk merayakan penobatan dirinya sebagai pemimpin adat suku kutianyir di desa Kurai Taji, Pariaman. Tapi kini? Syahrial, anak bau kencur, yang baru kemarin tamat kuliah telah mendebatnya tentang perkara adat yang selama ini salah menurutnya.

Tahu apa anak itu?

Sutan Siri kembali masuk ke dalam rumah gadang. Duduk dengan lesu. Syahrial menatap ayahnya dengan pikiran berkecamuk. Ini salahnya. Tapi dia tahu, ini bukan kesalahan.

***

Jarum jam tepat berada di angka dua. Petugas ronda keliling baru saja memukul tiang listrik sebanyak dua kali. Syahrial masih belum bisa memejamkan mata.

Dia sudah menduga semuanya tidak akan berjalan dengan mudah. Tapi dengan penjelasan darinya, Syahrial berharap semua akan mengerti. Ternyata tidak. Sebenarnya bukan hanya Datuak Bandaro Rajo yang menentang ucapannya, bahkan uda dan uni-nya juga terkejut mendengar keputusan Syahrial. Ayah dan Bundo pada awalnya juga tidak setuju.

Perkara yang menurut Syahrial sangat sepele, ternyata telah meruntuhkan sendi-sendi adat yang selama ini tertata dengan kuat. Syahrial hanya ingin mengganti sendi itu dengan yang baru. Bukan bermaksud menimbulkan konflik dan perpecahan, tapi hanya untuk memperbaiki sebuah kesalahan.

“Jadi berapa harga yang mau kita tetapkan untuk Syahrial?” begitu kata Datuak Bandaro Rajo saat rapat telah dimulai tadi. Sebenarnya terlalu formil kalau dikatakan itu rapat, hanya sebuah pertemuan keluarga besar Sutan Siri. Datuak Bandaro Rajo diundang karena beliau adalah kepala suku di kampung itu.

“Tidak ada, Datuak.” Sutan Siri menjawab sambil menunduk. Dia tahu itu bukan jawaban yang diinginkan Datuak Bandaro Rajo.

“Tidak ada bagaimana?”

“Kita hanya pergi melamar, kalau diterima, langsung ditetapkan kapan pernikahan akan dilangsungkan.”

Dari situlah awal pertengkaran hebat itu terjadi. Datuak Bandaro Rajo langsung naik pitam.

“Sejak kapan aturan itu berlaku di kampung kita? Kita orang berada. Syahrial juga seorang sarjana, sudah bekerja pula. Kita harus mematok harga tinggi kalau ada yang ingin mengambilnya jadi menantu.”

“Pak Datuak, ambo minta maaf, tapi ini pernikahan, bukan jual beli. Ambo yang akan menikah Datuak, izinkan ambo melangkah dengan cara ambo.” Syahrial menjelaskan.

“Tapi itu berarti kamu melanggar adat.”

“Adat yang mana Datuak? Dosakah?”

“Ini adat istiadat, turun temurun dari dulu.”

“Tapi kita orang Minang Datuak, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Tidak ada bagian dari agama kita yang mampu menjelaskan darimana asalnya sehingga apabila seorang lelaki dikampung ini ingin menikah, maka dia harus dibeli.”

“Tidak perlu ambo waang ajari. Ambo lebih tahu. Ambo lebih paham perkara adat.”

“Tapi Datuak…” Syahrial tidak melanjutkan perkataannya. Datuak Bandaro Rajo sudah bergegas berdiri hendak pergi.

Syahrial kembali menatap langit-langit kamarnya. Jarum jam sudah beranjak lima belas menit dari pukul dua.

***

Minggu lalu, Syahrial menuturkan keinginannya pada ayah dan bundonya.

“Waang sudah yakin…?” perempuan tua itu menatap lelaki muda di depannya.

“Yakin Bundo, bukankah tidak ada lagi hal yang memberatkan? Syahrial sudah bekerja.”

“Calonmu sudah ada?” Sutan Siri yang duduk di samping mereka menimpali.

Syahrial tersenyum. “Sudah ayah, ayah dan bundo juga sudah mengenalnya. Siti Rohani, teman sekolah Syahrial dulu, gadis kampung sebelah.”

Sutan Siri dan istrinya saling pandang. Keduanya tersenyum.

“Kapan?” Sutan Siri bertanya.

“Lebih cepat lebih baik, ayah. Bulan depan, Syahrial akan cuti selama satu minggu, kalau bisa, kita langsungkan saat itu.”

Tapi di kampung ini, urusan pernikahan bukan hanya urusan antara dua keluarga, melainkan urusan dua kaum adat, menyangkut kepala banyak orang. Makanya malam itu Sutan Siri mengundang Datuak Bandaro Rajo ke rumah, beserta beberapa orang niniak mamak lainnya. Membicarakan rencana pernikahan Syahrial dengan gadis kampung sebelah. Dan hasil pembicaraan malam itu memang sudah diprediksi Syahrial sebelumnya.

Sudah jadi tradisi di kampung ini, lelaki lah pihak yang harus dilamar, dan harus dibeli. Syahrial sendiri tidak tahu mengapa harus begitu. Adat. Begitu kata para tetua kampung. Harga jualnya juga tergantung siapa lelaki-nya. Berpendidikankah? Orang beradakah? Semakin tinggi status sosialnya maka akan semakin tinggi harga yang dipatok untuk dibayar pihak keluarga perempuan. Ini pernikahan atau perdagangan?

Syahrial tahu persis, sampai sekarang sawah di kaki bukit yang telah digadaikan ayah untuk membayar lelaki calon suami Uni Fatma belum lagi bisa ditebus. Mengapa pernikahan, sesuatu yang sakral dan suci, bahkan nabi mengatakan kalau itu adalah separuh dari agama, hanya dinilai dengan besaran uang dan harta?

Syahrial tidak ingin itu terjadi padanya. Dia ingin seperti yang sudah digariskan agama saja. Mereka pergi melamar kepada pihak wanita, jika diterima maka ditetapkan hari pernikahan. Jikapun harus membayar, maka Syahrial lebih memilih dialah yang harus mengeluarkan uang.

Tanpa dilamarpun, sebenarnya Siti sudah pasti menerima dirinya. Mereka sudah kenal sejak lama. Pernikahan ini pun sudah merupakan kesepatakan mereka berdua, jauh sebelum Syahrial mengatakan itu pada orang tuanya.. Tapi adat melamar tetap harus dilaksanakan. Bukankah dalam Islam juga dikenal istilah khitbah? Syahrial juga ingin proses pernikahannya dilakukan dengan proses itu terlebih dahulu.

Masalahnya sekarang, belum pernah ada sejarahnya di kampung ini lelakinya tidak dibeli sebelum menikah.

***

Sudah tiga kali Sutan Siri bolak-balik menemui Datuak Bandaro Rajo di rumahnya, untuk meminta kesediaan sang datuak turut mengantar keluarga mereka pergi melamar ke rumah keluarga Siti Rohani di kampung sebelah. Tapi sama sekali tidak ada hasil. Datuak tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

“Maafkan ambo Sutan. Jangan pernah suruh ambo melakukan sesuatu yang melanggar peraturan adat. Mau ditaruh di mana muka ini jika orang sekampung tahu kalau Syahrial menikah dengan jalan itu?”

Sutan Siri pulang. Lagi-lagi tanpa hasil.

“Sudahlah ayah, kita saja yang pergi ke sana. Bukankah tidak ada salahnya? Mengapa harus melibatkan Datuak Bandaro?”

“Syahrial, kau macam tidak tahu saja, jika satu kampung tahu kita pergi melamar Siti tanpa di dampingi penghulu adat, mereka akan mencibir kita. Bahkan para gadis dan bujang yang tertangkap basah berbuat zina, tetap dinikahkan secara adat di hadapan kedua penghulu suku mereka. Apalagi kamu yang menikah secara baik-baik.”

“Lalu di mana letaknya adat yang bersendikan syarak itu ayah? Mengapa harus agama yang menurut pada adat? Bukankah adat yang semestinya menyesuaikan diri dengan peraturan agama? Baik menurut adat belum tentu baik menurut agama. Bukankah agama yang harus diikuti?”

Sutan Siri terdiam. Selalu tidak bisa membantah alasan yang dikemukakan anaknya. Keinginan Syahrial yang semula tidak ingin dibeli juga telah membuatnya murka. Dia sudah berharap sekali, sawah mereka yang tergadai karena pernikahan Fatma akan balik lagi jika Syahrial dilepas dengan harga tinggi. Dia juga yakin kalau Syahrial akan dikehendaki oleh orang tua manapun sebagai menantu. Syahrial pemuda baik-baik yang berpendidikan tinggi, berwajah tampan dan sudah mapan. Berapapun mereka menetapkan harga, pihak keluarga perempuan pasti menerima. Tapi Syharial memupuskan harapannya. Sayangnya, dia tidak bisa membantah, alasan yang dikemukakan anaknya memang benar.

“Ayah, apakah pernikahan ini akan  batal hanya gara-gara Datuak Bandaro Rajo tidak mau mengantar keluarga kita pergi melamar?”

“Ayah akan datangi dia sekali lagi. Jika dia tetap pada keputusannya, maka cukup keluarga kita saja yang pergi ke rumah keluarga Siti.”

***

Syahrial duduk di depan jendela rumah gadang. Sesekali matanya menatap ke jalanan. Tapi yang ditunggunya belum kelihatan. Purnama merajai angkasa dengan senyumnya. Cahayanya yang terang membuat rona gelisah di wajah Syahrial terlihat jelas.

Sudah jam sebelas malam. Rombongan yang pergi melamar belum juga pulang.

Selepas isya tadi. Pihak keluarganya berangkat menuju kampung sebelah. Melamar Siti Rohani sebagai istrinya. Datuak Bandaro Rajo akhirnya bersedia. Syahrial mengucap terima kasih yang tak terhingga atas kegigihan ayahnya membujuk Datuak Bandaro.

Syahrial sudah dapat membayangkan adu mulut yang terjadi antara Datuak Bandaro Rajo dengan penghulu adat suku Tanjung di kampung sebelah. Kira-kira bagaimana Datuak menjelaskan kalau mereka tidak menetapkan berapapun harga bagi Syahrial?

Sebelum rombongan berangkat tadi, Syahrial hanya menitipkan satu pesan pada ayahnya, lamar Siti Rohani dan tanyakan mahar yang dia minta. Hanya mahar itulah nantinya yang akan menjadi kewajiban Syahrial untuk mencarikannya.

Alunan kumandang azan bergema dari telepon genggam di saku celana Syahrial. Itu nada sms. Bergegas Syahrial membukanya. Dari Siti.

“Uda, pihak keluarga Uda sudah pulang. Proses khitbah telah selesai dilakukan. Tanggal pernikahan juga telah ditetapkan. Hari Jumat pertama awal bulan depan.”

Alhamdulillah…. Syahrial langsung sujud syukur. Setelah itu dia membalas sms Siti.

“Syukurlah, apakah tidak ada masalah dalam acara tadi?”

“Aku hanya mendengar dari dalam kamar. Kedua orang tua kita setuju. Kedua Datuak juga telah sepakat, 25 emas adalah nilai yang akan kami bayar untuk Uda.”

Tubuh Syahrial lemas seketika. Telepon genggamnya jatuh ke lantai rumah gadang. 25 emas? Mengapa jadi seperti ini? Syahrial menatap purnama. Bayangan ayahnya dan Datuak Bandaro Rajo tampak tersenyum penuh kemenangan di atas sana.

***

Payakumbuh, 19 Februari 2011

Keterangan:
Rumah Gadang : Rumah adat Minangkabau
Ambo : saya
Kutianyir : nama salah satu suku di Minangkabau
Uda : abang / kakak laki-laki
Uni : kakak perempuan
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah : filosofi adat minangkabau (adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kepada Kitabullah / Alquran)
Waang : kamu (panggilan kepada laki-laki) yang lebih muda
Niniak mamak : 
para tetua adat


*) Cerpen ini sudah dimuat dalam 4 buku antologi berbeda, bisa baca infonya di sini LELAKI YANG DIBELI DALAM 4 ANTOLOGI

Komentar