Uwo Aminah sedang duduk di depan kedua cucu perempuannya, Raudhah dan Jannah dan perempuan yang ada di rumah gadang. Mereka duduk mendengarkan nasihat Uwo Aminah. Hadir pada pertemuan itu para wanita, mulai dari yang masih gadis sampai yang sudah punya anak.
“Dalam adat kita ini, perempuan
dikenal menjadi empat tingkatan.” kata Uwo menatap ke sekeliling, pada semua wajah yang hadir.
“Wanita dikelompokkan ke dalam
empat tingkatan berdasarkan ciri fisik, kematangan emosional, dan
perannya di dalam masyarakat.” Semua yang hadir mengangguk-angguk memperhatikan
penjelasan Uwo.
“Pertama adalah batino, seorang
wanita yang baru lahir sampai dia menempuh masa kanak-kanak sampai sebelum akil
balig. Mereka contohnya.” tunjuk Uwo pada anak yang sedang digendong dalam
pelukan ibu yang hadir di pertemuan itu. Semua menatap pada tangan Uwo yang
menunjuk anak dalam pelukan ibunya.
“Urutan yang kedua adalah gadih,
yaitu wanita dari masa akil balig sampai masa sebelum menikah. Ini dia para
remaja kita di kampung ini semuanya. Makanya mereka harus hadir agar paham
kedudukan sebagai Wanita Minang.” Para remaja putri yang kurang menyimak dan
asyik bercerita serta pegang ponsel pun terdiam mendengarkan penjelasan Uwo.
“Wanita pada urutan ketiga adalah
padusi, yaitu wanita yang sudah bersuami. Pada kedudukan inilah wanita ini
diuji semua kehidupannya, memahami orang lain, terutama anak, suaminya serta
keluarganya, mertua, ipar. Banyak yang perlu dia jaga dalam status sosialnya.”
jelas Uwo Panjang lebar.
“Dan
yang terakhir adalah perempuan, yaitu wanita yang sudah memiliki usia lanjut
yang dimulai ketika dia sudah menjadi nenek dalam sebuah keluarga. Seperti ambo
kini,” kato Uwo menunjuk dirinya.
Uwo pun kembali menyapu pandangan matanya ke
sekeliling ruang. Sambil menarik nafas dan melanjutkan nasihatnya.
“Bagi orang Minang, wanita adalah
simbol yang terhormat dan harus dijaga. Malu seorang wanita idealnya adalah
malu suku atau kaumnya itu sendiri.” jelas Uwo.
“Hubungan dengan adat basandi
syarak dengan syarak basandi kitabullah, gimana Mandeh?” tanya Santi
anak Mak Etek.
”Berdasarkan
falsafah, ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. (ABS SBK), maka bagi
orang Minangkabau, menghormati perempuan sama halnya dengan menjalankan
perintah agama Islam. Dalam Islam, perempuan sangat dihormati, perempuan adalah
ibu yang melahirkan kita, generasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Seperti
hadits yang disampaikan Rasulullah SAW, "Dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku
harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,
‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi
shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya
kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut
bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari).” Uwo pun mengutip hadits nabi
menjelaskan hubungan Perempuan dalam agama ini.
“Wanita yang sebagai ibu tentu harus menjaga tingkah laku agar dapat mendidik anaknya kelak. Sumbang Duobaleh adalah panduan untuk mengatur tingkah laku seorang wanita, agar tidak menyimpang dari kodrat dan status sosialnya di dalam masyarakat. Sumbang, jangga atau cando, adalah perbuatan yang kurang baik dan harus dihindari oleh wanita di Minangkabau karena akan mendatangkan malu bagi suku dan kaumnya. Wanita yang sering melakukan Sumbang Duobaleh dianggap sebagai wanita yang tidak sopan atau dalam istilah Minang indak bataratik. Seringnya wanita melakukan prilaku sumbang akan membuat dia terjatuh kedalam prilaku salah yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai wanita terhormat. Dua belas prilaku sumbang yang harus dihindari oleh wanita Minangkabau tersebut adalah (1) sumbang duduak, (2) sumbang tagak, (3) sumbang bajalan, (4) sumbang kato, (5) sumbang caliak, (6) sumbang makan, (7) sumbang pakai, (8) sumbang karajo, (9) sumbang tanyo, (10) sumbang jawek, (11) sumbang bagaua, dan (12) sumbang kurenah.
Sumbang Duobaleh secara umum mengatur wanita dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Jika prilaku sumbang ini dapat dihindari, maka seorang wanita dapat dipandang baik dan dihormati di dalam suku dan kaumnya.” Uwo menjelaskan panjang lebar, Raudhah pun tertidur di pangkuan neneknya, Jannah masih semangat mendengarkan cerita Uwo.
“Itu saja pengajian tentang adat kita hari ini, besok akan kita sambung pekan depan ya.” Uwo menutup pembelajaran adat ini.[*]
Komentar
Posting Komentar