SUMBANG DUDUAK

Oleh: Linda Tanjung

 

               Raudhah dan Jannah adalah saudara kembar yang dibesarkan oleh Uwo Aminah, seorang Bundo Kanduang suku Jambak. Si kembar ini sudah ditinggalkan ibunya yang meninggal saat melahirkan mereka. Mereka mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Raja. Ia sangat dekat dengan kedua adik kembarnya. Raja dipanggil Uda oleh keduanya. Sementara Raudhah dan Jannah sama-sama memanggil ‘Uni’. Si kembar sekarang sudah duduk di kelas V SD Minang Bestari di Kota Payakumbuh.

               Raja sering membawa Raudhah main ke luar rumah. Kadang main kelereng, atau sesekali main sepak tekong, permainan yang biasa dimainkan anak laki-laki. Jika Raudhah sangat menyukai bermain dengan Uda Raja, berbeda dengan Jannah yang lebih suka di rumah, membantu Uwo memasak di dapur, atau pekerjaan lainnya yang tidak dilakukan di luar rumah. Seperti kejadian hari ini, yang menjadi pertengkaran mereka. Jannah ingin Raudhah menemaninya main di rumah, karena Uwo sedang pergi ke pasar, sedang Raudhah ingin main dengan Raja.

               “Di rumah saja kita Uni, temani denai,” kata Jannah yang kadang memang lebaynya suka kambuh.

               “Ndak bisa! Awak mau main dengan Uda Raja!” bantah Raudhah, siap-siap menyusul Raja.

               Usia si kembar dan Raja memang tidak terlalu jauh. Raja sekarang baru kelas VI. Hari ini ia dan teman-teman akan main di lapangan depan surau. Semua anak sudah berkumpul, Raja yang jadi pemimpinnya. Sementara itu, perdebatan dan bujuk membujuk antara si kembar masih terjadi.

               “Uni itu perempuan, ndak boleh main sama anak laki-laki.” bujuk Jannah lagi. Dia tahu saudaranya ini memang sangat aktif.

               “Apa salahnya main sama mereka, ada Uda Raja yang temani. Kata Uwo, kalau ada muhrim nggak masalah, wek.” Raudhah terus membantah dan berusaha untuk tinggalkan Jannah.

               “Uni, tadi Annah sudah pesankan makanan kesukaan uni sama Uwo, kalau Uni pergi, biar untuk Annah semua, mau?” tanyanya Jannah.

               “Apa? Pindik?” tanya Raudhah yang sangat suka pindik.

               “Iya dong, Uwo beli pindik Tek Imah yang di Tiakar.” katanya.

               “Iyalah, aku temani Uni saja di rumah,” akhirnya Raudhah takluk. Ia mengambil buku Malin Kundang yang belum selesai dibacanya. Meski mukanya cemberut, ia pun duduk di bangku rotan sambil angkat kakinya sebelah saat baca buku.

               “Uni, duduk yang bagus, anak perempuan duduknya tidak angkat kaki. Uni sudah lakukan sumbang duduak, begitu kata Uwo.” cegah Jannah.

               “Apa pula itu, banyak sekali aturan Uni ini, ya. Capek awak dengarnya.” Raudhah kembali kesal membantah Jannah.

               Tapi tiba-tiba Uwo masuk ke rumah, baru pulang dari pasar.

               “Ada apa ini ribut-ribut? Berdua saja di rumah? Raja mana?” tanya Uwo. Berhubung hari Ahad, Uwo memang selalu pergi ke Pasar Ibuah.

               “Uni Raudhah, Uwo. Duduknya tidak benar, Annah kasih tahu tentang sumbang duduak, dia malah marah Uwo.” Jannah pun mengadu.

               “Apa itu sumbang duduak Uwo, Uni Jannah sok hebat bilang kayak gitu. Semua yang awak kerjakan selalu salah.”

               “Raudhah, Jannah, sini Uwo jelaskan.” sambil meletakkan bawaan dari pasar di dekat kursi mereka duduk, Uwo pun bercerita.

               “Sumbang duduak artinya sumbang wanita itu duduk baselo (bersila) seperti laki-laki. Idealnya wanita itu duduknya basimpuah (bersimpuh). Sumbang bagi wanita duduk berdua-duaan dengan laki-laki yag bukan muhrimnya ditempat yang sepi. Nah, duduk di kursi sambil angkat sebelah kaki, itu juga sumbang duduak,” jelas Uwo.

               “Lalu, gimana cara duduknya itu, Uwo?” tanya Raudhah.

               “Lihat, ya!” kata Uwo sambil mempraktikkan dan duduk bersimpuh di lantai dengan bertumpu pada kedua kakinya. Kedua kaki Uwo menopang pinggulnya, setelah dilipat ke belakang keduanya dan lututnya pun sejajar posisinya di depan. “Ayo coba praktikkan cara Uwo duduk ini.” ajaknya pada kedua cucunya yang yatim piatu itu.

               “Baik Uwo,” serentak Raudhah dan Jannah menjawab dan mempraktikkan cara duduk bersimpuh.

               “Bukan begitu, seperti ini, lihat kaki Uwo,” mereka sibuk menyilangkan kedua kakinya, duduk bersila versi perempuan Minang. Setelah merasa berhasil, keduanya tertawa bersama. Terasa janggal duduk bersimpuh seperti yang Uwo contohkan.

               “Terasa janggal karena belum terbiasa.” Uwo berkata. “Ayo, kita praktikkan duduknya biar jadi kebiasaan, sambil makan pindik.” Uwo pun mengeluarkan pindik dari keranjang. Ketiganya pun makan pindik yang manis dan legit, sambil sesekali mengulang cara bersimpuh perempuan seperti yang Uwo contohkan.

 

*) selanjutnya, Sumbang Tagak

*) sebelumnya, Sumbang Duobaleh


*) Ingin kirim naskah ke pustaka22.com? Baca ketentuannya DI SINI

Komentar

  1. sangat suka dengan cerita tentang budaya dan adab lokal.. semangaatt untuk terus berkarya ! :)

    BalasHapus
  2. Dialognya mengalir apa adanya tanpa mengabaikan pesan yang ingin disampaikan, keren bisa jadi inspirasi bagaimana membuat suatu tulisan cerita. Mendorong saya untuk ikutan menulis dan menerbitkan di sini...bagaimana caranya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk kirim tulisan bisa baca infonya di sini
      https://www.pustaka22.com/2024/01/pustaka22com-mencari-naskah.html?m=0

      Hapus
  3. Senangnyaaaa sdh yg k2,gpl lg nunggu updatenya.thank you bun,semangat terusπŸ’•πŸ’•πŸ’•

    BalasHapus
  4. luar biasa isinya pengajaran perilaku bagi remaja putri..keren dan menginspirasi

    BalasHapus

Posting Komentar