"Bapak, sepatuku
bolong ujungnya," Bening memperlihatkan sepatu birunya yang sobek di
bagian jempol kaki kanan. Sang kakak tertawa geli.
"Lho malah bagus,
Ning. Itu berarti sirkulasi udara di sepatumu tambah lancar. Kan lumayan, bisa
mengurangi bau tuh." Tulus berkomentar sembari mengambil nasi untuk Bapak.
Bening memanyunkan bibir mendengar tanggapan sang kakak.
Malam itu, seperti
malam-malam sebelumnya, keluarga Pak Syukur berkumpul untuk makan setelah salat
Isya. Bening yang akan ikut lomba cerdas cermat besok, agak tidak percaya diri
dengan sepatu bolongnya. Pak Syukur mengusap kepala Bening sepenuh sayang.
"Maafkan Bapak,
ya? Bapak belum bisa membelikan sepatu baru. Ning sabar dan doakan terus Bapak,
ya? Biar bisa cepet beli sepatu baru untuk Ning."
Bening menatap kedua
mata sang ayah sejenak kemudian memeluknya tanpa berkata apa-apa. Ia tahu Bapak
sudah bekerja keras untuk mereka sekeluarga.
Pak Syukur yang lulusan
SMK itu bekerja sebagai teknisi di sebuah rumah sakit swasta. Kemampuannya di
bidang listrik. Sering sepulang bekerja, ada yang meminta tolong diperbaiki
rangkaian listrik di rumah mereka.
Sementara istrinya Bu
Welas adalah ibu rumah tangga yang kadang dititipi cucian atau setrikaan oleh
tetangga.
"Rezeki tidak
harus dari Bapak. Alloh punya banyak cara untuk memberi.
Sekarang yang lebih penting, Ning sudah belajar kan untuk cerdas cermat
besok?" Bu Welas mengingatkan. Ia membawa semangkuk sayur asem dan
sepiring tempe garit goreng di tangan.
"Sudah dong, Bu.
Seminggu ini kan Ibuk tahu, setiap sore Ning sudah belajar bareng Indah sama
Ahmad di rumah Indah." Ning melepaskan pelukan dari sang ayah dan membantu
mengambil piring berisi tempe untuk diletakkan di meja. Bu Welas tersenyum
sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Alhamdulillah, bagus
kalau begitu. Tinggal perbanyak doa dan makan secukupnya, biar siap jiwa raga
'tuk bertanding besok. Ayo, tos dulu sama Ibuk." Bening menyambut kedua
telapak tangan Bu Welas yang terbuka dan menepuknya dengan semangat.
"Ibuk memang
selalu bisa menghibur saat Ning sedang turun semangat," ujar si bungsu
gembira.
"Woo lha jelas,
Ibuk gitu lho." Bu Welas menepuk dada bangga sembari tersenyum lebar.
Semua tertawa melihatnya.
"Lagian ta Nduk,
besok itu yang penting menjawab pertanyaan. Soal sepatu, bukan masalah nomor
satu. Wokey?"
"Oke." Ning
mengacungkan jempol tanda setuju. Senyum menghiasi wajah anak kelas lima SD
itu.
"Besok
berangkatnya diantar guru atau gimana, Nduk?" Pak Syukur
bertanya sambil mengambil tempe goreng.
"Kumpul di sekolah
terus diantar ke kecamatan sama mamanya Indah, Pak. Ada satu guru juga yang
ikut. Oya, kata Indah karena rumah kita searah dengannya, dia dan mamanya
bakalan jemput Ning dulu, baru ke sekolah." Ning bercerita dengan
semangat. Ia sampai tidak sadar tempenya diambil Tulus.
"Cie cie… yang mau
naik mobil. Yakin kamu nggak bakalan mabuk seperti biasa?" Si kakak
menggoda sembari melahap tempe dengan nikmatnya.
"Nanti kan bisa
minum obat dulu biar nggak mabuk ya, Bu? Pakai koyo juga perutnya. Kata mama
Indah, kecamatan nggak terlalu jauh kok. Aman pokoknya." Ning kembali
bercerita dengan gembira. Ia agak heran ketika tidak melihat tempe di
piringnya.
Tanpa terlalu peduli,
Bening kembali mengambil tempe lain dan memakannya lahap. Tulus yang melihatnya
tersenyum geli. Bu Welas menoyor kepala Tulus pelan.
"Kamu
ini Mas, bercanda saja kerjaannya." Tulus menanggapi dengan cengiran
khasnya.
"Mas punya ide,
Ning. Gimana kalau bagian bolong sepatumu itu diberi plester. Selain bisa
menutupi bolong, kalau ada yang tanya bisa jawab tuh." Tulus menjentikkan
jari. Bening masih menatap ragu si kakak.
"Nanya apa,
Mas?"
"Yah siapa tahu
ada yang nanya, sepatumu kenapa Ning, kok pakai plester segala? Nah, kamu bisa
jawab sepatunya lecet habis kecelakaan, kena sodok jempol kaki saya. Gitu, hehe..."
Tulus tertawa sendiri setelahnya. Pak dan Bu Syukur ikut tersenyum
mendengarnya.
"Wah, idemu boleh
juga, Mas." Ning tersenyum sambil berpikir sebentar. "Tapi ...
kayaknya Ning nggak bakal lakukan itu deh." Semua tertawa
mendengarnya.
Malam itu semua gembira
karena sepatu bolong si bungsu tidak lagi menjadi masalah. Setidaknya untuk
sementara waktu.
Esok paginya, hati Ning
mantap saat pamit dan masuk ke mobil Indah. Ia melambaikan tangan gembira saat
mobil mulai melaju ke sekolah.
Belum lama beranjak
dari rumah Ning, Indah menyerahkan sesuatu. "Ini hadiah dari teman-teman
sekelas buat Ning, terima ya?"
Bening nyaris tidak
bisa berkata apa-apa dan begitu bahagia saat melihat ada sepatu pantofel cantik
untuknya. Ibuk benar, Alloh punya banyak cara untuk memberi, batin
Ning dalam hati.
Bersama sepatu baru
itu, Ning, Indah dan Ahmad pun menjadi juara lomba cerdas cermat SD
se-kecamatan mewakili sekolah mereka. (*)
*) Naledokin, seorang naif
yang bermimpi menjadikan dunia bak ‘surga’ dan menulis sebagai profesinya.
Komentar
Posting Komentar