Cerpen: BEGITU SINGKAT

Aku mengenalnya begitu singkat. Hanya dua minggu setelah statusku resmi menjadi seorang mahasiswa, dia, lelaki yang sempat membuatku takut karena beberapa kali terpergok membuntuti, melamarku. Anehnya, kurang dari 24 jam, aku mengiyakan ajakannya untuk hidup bersama.

Aku bukan anak usia delapan belas yang baru lulus SMA. Aku bekerja selama lima tahun menjadi buruh pabrik, mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk uang pangkal kuliah. Mungkin itu sebabnya, di usia 23 ketika Andri melamarku aku mau-mau saja.

Dia datang dengan seulas senyum, pada pukul lima sore ketika halte di samping kampus sudah sepi. Aku terjebak hujan sambil menunggu bus lewat. Aku sudah tak takut kepadanya. Tiga kali memergoki dia membuntutiku, dia terus memamerkan senyum. Firasatku mengatakan lelaki itu—saat belum tahu namanya—hanya ingin mengenalku. Wanita kerap menangkap sinyal jika ada lelaki yang mendekatinya bukan?

“Kiara Prameswari,” ucapnya.

Aku yang sudah sadar akan kehadirannya sebelum dia menggulung jarak tak urung terkejut. “Eh, tau dari mana?” Aku menanyakan nama lengkapku yang dia ucapkan. Tiga hari sebelumnya, dia bertanya namaku. Dan dijawab hanya dengan nama panggilan.

“Kiara Prameswari, panggilan Ara, ada sesuatu untukmu.”

Aku bergeming. Hujan kian lebat masih memerangkap kami. Bajunya yang sedikit kuyup kena tempias hujan membuat dada bidang itu tercetak jelas.

“Kau tak bertanya apa yang kubawa?” tanyanya melihatku diam. Aku tertawa, ini konyol.

“Baiklah, apa yang kaubawa, Kakak Tingkat Yang Bahkan Aku Tak Tahu Namamu.”

Kali ini, giliran dia yang tertawa. “Andri Dirgantara.” Dua tangannya yang semula terus berada di balik tubuh mengangsurkan seikat bunga. “Maaf, layu kena hujan.”

“Dandelion.” Aku spontan meraih bunga rapuh itu. Bulu-bulu halusnya menjuntai, kalah oleh sapuan air langit.

“Ara, penyuka dandelion, maukah kau menikah denganku?”

Aku hanya meliriknya, masih sibuk menghilangkan titik-titik air pada beberapa kuncup dandelion ketika dia mengulang ucapannya.

“Kau serius?” Aku mengernyit ke arahnya.

“Aku menyukaimu sejak pertama kali melihat. Dan cukup dua minggu untukku yakin akan membawamu masuk ke duniaku.”

Mulutku menganga seraya mengerjap beberapa kali ke arahnya. Mimpikah ini? Aku memandang langit, kilat petir membuat mataku silau dan kembali memandang seikat dandelion di tangan. Ini nyata, aku berhadapan dengan bunga yang sering digambarkan sebagai simbol kekuatan dan tekad karena ianya mampu bertahan hidup di tengah kesulitan.

“Busmu tiba.”

“Eh?” Aku menoleh ke kanan. Bus biru arah ke rumahku merayap perlahan.

Andri ikut naik ketika dua kakiku telah menjejak sempurna di atas lantai bus. Mungkin sudah menjadi kebiasaan sejak dia senang membuntutiku. Kondisi bus yang sepi penumpang membuat lelaki yang tadi melamarku itu—ya, Tuhan, yang benar saja. Aku masih tak percaya—duduk di sebelahku.

“Ara, lamaranku serius. Kutunggu jawabanmu.”

“Kau jangan bercanda. Hanya karena kau tahu aku suka dandelion, lalu seenaknya membawakan seikat bunga ini sambil melamarku.”

“Aku serius.”

Bus berhenti setelah aku memintanya kepada sopir. Cuaca di sini mendung, tetapi tak tampak bekas hujan. Mungkin sebentar lagi, bergiliran.

“Ara, aku sudah tau nomor WhatsApp-mu. Kirim jawabanmu segera, ya. Atau ... kau ingin aku menemui orang tuamu sekarang?”

Aku menghentikan langkah, lalu menatapnya. Tak kutemukan raut bercanda pada wajah berkumis tipis itu. “Misscall saja. Orang tuaku bisa pingsan didatangi orang tiba-tiba ngelamar.”

“Aku pulang, Ara. Tolong dandelion itu jangan dibuang meski seandainya kau menolakku.”

Malam harinya, entah dari mana datangnya keberanian itu, aku mengungkap kepada Ibu dan Bapak bahwa ada lelaki yang melamarku. Tak seperti dugaanku, alih-alih kaget karena tak pernah membawa atau mengenalkan lelaki, mereka tersenyum semringah.

“Jika dirasa baik menurutmu, terimalah,” ujar Bapak.

“Asal cocok dan hatimu condong kepadanya, sudah cukup untuk menerima,” kata Ibu.

Dirasa baik, cocok, dan condong? Dua minggu, yang benar saja!

Malam harinya, kupandangi dandelion pemberian Andri yang kumasukkan dalam botol kaca. Tanganku tergerak meraih ponsel. Aku mengirim pesan pada nomor yang begitu tiba di rumah sore tadi mengirim pesan tiga kata: [Calon suamimu, Andri]

[Bawa keluargamu besok jika kau serius] Begitu pesan balasanku. Aku mencoba menantang keseriusannya.

Benarkah ini nyata? Aku masih bergeming menatap layar ponsel setelah pesan terkirim.

[Jam 9 aku datang]

Semendadak ini? Jadi dia betul serius? Aku melongo menatap dandelion, lalu jumpalitan di atas kasur. “Arrgghh ....”

Dia menepati janjinya, pukul sembilan tepat, Andri datang membawa keluarganya. Lamaran hanya dihadiri RT dan tetangga dekat karena serba mendadak. Semua berlangsung begitu singkat. Ibu sampai marah-marah karena lepas salat dua rakaat aku bilang Andri dan keluarga akan datang. Beruntung ada hidangan tersaji meski sederhana.

Satu minggu kemudian, aku telah sah menjadi istri Andri Dirgantara. Kemudian, sore harinya usai resepsi, aku dibawa pindah ke rumah mungil dalam kompleks perumahan yang asri.

“Kau tahu kenapa aku tertarik padamu dari awal jumpa?” tanya Andri.

“Karena aku cantik tentu saja.”

Dia tergelak. “Karena gantungan kunci di tasmu.”

Aku mengernyit. “Dandelion?”

“Ya, lambang kekuatan, tangguh, dan kecerdasan karena mampu bertahan di segala cuaca yang penuh tantangan. Dandelion itu rapuh, mudah digoyang dan disapu angin, tetapi dia tetap berdiri. Aku tahu kau tak sekadar memakai itu sebagai gantungan kunci. Dandelion itu kamu, Kiara Prameswari, yang berjuang dan bertahan lima tahun demi meraih impian untuk bisa kuliah,” jelas Andri sambil menatap dandelion pemberiannya di dalam botol kaca.

“K–kau, jadi bukan dua minggu kau me–mengintaiku?” Aku melongo, berucap terbata-bata.

Andri menggeleng. “Kau tak perlu tau aku siapa, dulu. Pikirkan saja kini aku adalah suamimu, si penyuka dandelion. Aku tak akan sembarang mengambil anak orang untuk dijadikan pendamping hidup selamanya.”

“Sementara aku dipaksa memberikan jawaban secepatnya. Ya, Tuhan.” Aku menepuk kening. “Anak pertama mungkin kau akan meminta dinamai Dandelion.”

“Kau sudah jauh memikirkan anak. Sementara aku masih memikirkan bisakah malam ini juga aku diberi izin untuk membikin anak.”

“Andri ...!” Aku menjerit. Malu, terjebak kata-kataku sendiri.



Bekasi, 9 September 2024


Komentar