Pukul 08:15, jarum jam di ruang ICU Rumah Sakit Kediri berhenti berdetak. Saat itu, jantung Sari mencatat denyut terakhirnya.
Delapan puluh lima hari kemudian, jemari Sari bergerak lemah di atas seprai putih. Di luar kamar rumah sakit, langit kelabu menawarkan hujan yang belum juga jatuh.
"Sari, kamu yakin?" Dokter Anwar menatapnya, kerutan dalam tampak di dahinya. Discharge against medical advice tertulis besar-besar di formulir yang baru saja Sari tandatangani.
"Saya perlu melakukan ini, Dok," jawab Sari, suaranya serak. "Ini perjalanan yang tertunda sejak tiga tahun lalu."
Dokter menghela napas. Tatapannya jatuh pada bekas luka di pergelangan tangan Sari. Bekas sayatan vertikal yang masih merah muda, menyembuh tapi belum sepenuhnya pulih.
"Secara medis, kondisimu masih…"
"Saya tahu." Sari memotongnya dengan senyum tipis. "Tapi ada yang lebih penting dari kesehatan fisik."
***
Ninja 250 dengan aksen warna hijau itu berderum halus di pelataran kontrakan. Bukan sekadar motor bagi Sari, melainkan simbol kemandirian yang tersisa setelah perceraiannya dengan Rama. Satu-satunya harta yang ia perjuangkan dalam pembagian harta gono-gini tiga tahun lalu.
Bu Siti, pemilik kontrakan, berdiri di ambang pintu dengan mata berkaca-kaca. "Mbak bisa mati di jalan!"
Sari terkekeh kecil. "Saya sudah pernah mati, Bu. Ternyata, tidak seburuk yang orang kira."
"Astagfirullah, Mbak! Jangan bicara macam-macam!"
"Bercanda, Bu," kata Sari sambil menyalakan lampu sein kanan. "Doakan saja saya sampai dengan selamat."
***
Ponselnya bergetar, tanda pesan masuk. Nama Ibu berkedip-kedip di layar. Ibu selalu menelepon tiap pagi selama seminggu terakhir sejak Sari keluar dari rumah sakit—kebiasaan baru yang lahir dari ketakutan akan kehilangan anaknya.
"Ya, Bu?"
"Sudah berangkat, Nak?" Suara ibunya terdengar lebih tua, lebih rapuh, hasil tiga bulan menunggui ranjang rumah sakit yang mengubahnya.
"Sudah. Dan Bu, ini perjalanan yang harus saya tempuh sendiri."
Keheningan singkat sebelum ibunya menjawab. "Kamu selalu keras kepala. Seperti ayahmu."
"Ibu tahu kenapa saya harus ke Semarang."
"Ya." Ibunya menghela napas panjang. "Tiga tahun sudah, ya?"
"Tiga tahun, dua bulan, empat belas hari," jawab Sari tanpa perlu berpikir. Perceraiannya dengan Rama meninggalkan bekas luka yang lebih dalam daripada sayatan di pergelangan tangannya.
***
Kabut tipis menyelimuti perbukitan Blitar ketika Sari memasuki kota itu. Motornya melewati persimpangan Jalan Sudanco Supriyadi. Sensasi aneh menjalar di tengkuknya. Di sebelah kanan, sebuah warung kopi tua dengan papan nama kusam menarik perhatiannya.
Sari memarkirkan motornya di depan warung.
Aroma kopi yang pahit bercampur manis menyambutnya begitu membuka pintu kayu yang berderit. Seorang perempuan tua duduk di sudut ruangan, jemarinya yang keriput menggenggam secangkir kopi.
"Selamat datang, Nak," sapanya, suaranya lembut seperti gema dari masa lalu. "Aku sudah menunggumu."
Sari mengerutkan dahinya. "Maaf, apa kita saling kenal?"
Perempuan itu tersenyum. Matanya dalam dan gelap seperti sumur tua, menatap Sari dengan cara yang membuat tulang belakangnya menggigil.
"Duduklah. Kopi di sini terkenal bisa membuat orang bernostalgia."
Sebuah cangkir porselen putih dengan ukiran bunga teratai hitam sudah menunggu di hadapan Sari. Uap kopi menari-nari, membentuk pola-pola aneh yang seolah bercerita.
Perempuan tua itu mengangkat pergelangan tangannya sendiri, menunjukkan bekas luka memanjang yang identik dengan milik Sari. "Karena kita semua pernah berada di persimpangan yang sama, Nak. Antara di sini dan di sana."
Sari menatap kopinya. Bayangannya terpantul di permukaan cairan hitam itu—bukan bayangan dirinya yang sekarang. Bayangan seorang perempuan dengan mata berbinar dan senyum lepas, versi dirinya sebelum perceraian itu terjadi.
"Tiga bulan lalu," lanjut perempuan itu. "Kau terbaring di sebuah ranjang rumah sakit. Mesin-mesin berkedip, orang-orang menangis, dan kau... kau melayang."
"Waktumu menipis, Nak," bisik perempuan itu. "Jarum jammu berdetak terbalik."
Sari refleks melihat jam tangannya. Jarum detiknya bergerak berlawanan arah jarum jam.
Ketika ia mendongak, perempuan itu telah menghilang. Ruangan warung itu perlahan memudar, seperti cat air yang terkena hujan.
***
Hujan mulai turun ketika Sari mencapai perbatasan Tulungagung. Sari menepi di sebuah warung makan sesak dengan pengendara yang juga berteduh. Ia menemukan satu-satunya kursi kosong di sudut—berhadapan dengan seorang ibu muda yang menggendong bayi.
"Boleh saya duduk di sini?" tanya Sari.
Ibu muda itu mengangkat wajahnya. Mata cokelatnya yang besar menatap Sari dengan cara yang aneh—seolah melihat menembus dirinya.
"Motormu bagus. Ninja 250, kan?"
Sari mengangguk. "Bekas suami."
"Kadang-kadang, apa yang kita pikir sebagai kehilangan ternyata adalah pembebasan."
Bayi di gendongannya menggeliat, menguap kecil. Mata bayinya, berbeda dengan sang ibu, berwarna biru langit.
"Bayimu cantik. Berapa umurnya?"
"Tiga bulan," jawab ibu itu. "Tepat sepanjang waktu yang kau habiskan dalam kegelapan."
Sari mematung. "Bagaimana kau—"
"Kau tahu, Sari," lanjut ibu itu. "Ada berbagai cara untuk mati. Beberapa orang mati ketika jantung mereka berhenti. Yang lain mati ketika hati mereka berhenti merasakan."
Ibu itu menatap ke luar jendela, ke arah hujan yang masih turun dengan derasnya. "Pertanyaannya, apakah kau benar-benar ingin kembali, atau kau hanya takut untuk pergi?"
Pertanyaan itu menghantam Sari seperti ombak besar. Selama tiga bulan koma, bagian manakah yang ia rindukan? Kehidupannya yang hampa setelah perceraian? Pekerjaannya sebagai desainer yang tak lagi memberinya kebahagiaan? Atau hanya ibunya yang setia menunggu?
"Setiap detik yang kau habiskan dalam keraguan adalah detik yang kau curi dari salah satu dunia." Ibu itu mengangkat bayinya lebih tinggi. "Lihat anakku, Sari. Dia lahir pada waktu yang sama ketika kau hampir meninggalkan dunia ini."
Tiba-tiba, bayi dalam gendongan wanita itu menangis keras. Suaranya bergema aneh, seperti ratusan suara bayi yang menangis bersamaan. Lampu warung berkedip-kedip, dan ketika kembali stabil, ibu dan bayi itu telah menghilang.
Di meja, tergeletak selembar foto polaroid. Sari mengambilnya dengan tangan gemetar. Foto itu menunjukkan dirinya berdiri di depan sebuah rumah kecil, tertawa bahagia dengan seorang pria di sampingnya. Di belakang foto tertulis tanggal—26 April 2026.
Setahun dari sekarang.
***
Jalan menuju Ponorogo terasa lebih panjang. Kabut tebal menyelimuti jalanan. Di kejauhan, sebuah rumah joglo kuno dengan lampu minyak berpendar kekuningan menarik perhatiannya.
Pintu kayu berukir terbuka sebelum ia mengetuk, memperlihatkan seorang pria tua dengan janggut putih panjang duduk bersila di tengah ruangan.
"Akhirnya kau datang juga, Sari," katanya, suaranya dalam dan berat seperti gong kuno.
"Siapa Anda?" tanya Sari, duduk di atas bantal yang telah disediakan.
"Kau bisa memanggilku Ki Jembar. Aku adalah penjaga persimpangan."
Ki Jembar mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari balik bajunya. Di dalamnya terdapat jam pasir kecil dengan pasir berwarna merah yang mengalir ke atas, melawan gravitasi.
"Ini adalah waktu yang tersisa untukmu," kata Ki Jembar. "Setiap butir adalah detik yang kau pinjam dari dunia lain."
"Ketika kau mencoba mengakhiri hidupmu tiga bulan lalu," lanjut Ki Jembar. "Sebagian dirimu berhasil pergi. Jantungmu berhenti selama tiga menit. Dokter mengembalikan tubuhmu, tapi jiwamu masih berkelana, terbelah antara ingin pergi atau tinggal."
Sari menatap bekas luka di pergelangan tangannya. Keputusan impulsif setelah melihat foto Rama dengan perempuan barunya di media sosial.
"Untuk hidup sepenuhnya, kau harus memilih hidup dengan sepenuh hati. Untuk mati dengan damai, kau harus melepaskan kehidupan dengan ikhlas. Tidak ada jalan tengah."
Ki Jembar mengeluarkan sebuah pisau kecil dengan gagang ukiran naga. "Kadang-kadang, untuk kembali sepenuhnya, kita harus rela meninggalkan sesuatu di jalan."
Sari menatap pisau itu, kemudian bekas luka di pergelangan tangannya. Perlahan, tangannya terulur, mengambil pisau.
"Hanya ada satu cara untuk keluar dari persimpangan, Sari—dengan memilih salah satu jalan dan tidak pernah menoleh ke belakang."
Tiba-tiba lantai rumah terbuka, seperti rahang raksasa, menelan Ki Jembar ke dalam kegelapan. Sari melompat mundur, tapi terlambat—lantai di bawahnya juga runtuh, mengirimnya jatuh ke dalam kegelapan tak berdasar.
***
Ketika terbangun, Sari mendapati dirinya terbaring di pinggir jalan. Ninja hijaunya terparkir rapi di sebelahnya. Tidak ada rumah joglo, tidak ada Ki Jembar, dan tidak ada pisau.
Namun, di tangannya tergenggam sehelai janggut putih.
Matahari terbit dengan malas di ufuk timur ketika Sari memasuki wilayah Ngawi. Aneh, ia tidak merasakan lapar sama sekali meski belum makan sejak kemarin.
Sebuah pom bensin tua menarik perhatiannya. Setelah mengisi penuh tangki Ninjanya, ia menuju minimarket di sebelah pom bensin.
Seorang pengemudi ojek sedang membayar di kasir. Pria itu terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Namun, bibirnya masih memancarkan keramahan.
"Perjalanan jauh, Mbak?" sapa pria itu.
Sari mengangguk. "Ke Semarang."
"Saya juga dulu punya motor bagus," kenang pria itu dengan tatapan menerawang. "Honda CBR. Tapi terjual buat biaya melahirkan istri. Sekarang naik motor bebek, jadi ojek online."
"Tidak menyesal?"
Pria itu tertawa. "Mbak, kalau melihat senyum anak saya setiap pagi, CBR seratus pun saya rela jual."
Kata-kata itu menusuk Sari lebih dalam dari yang ia kira. Ia teringat Rama, yang mempertahankan mobil mewahnya, tapi dengan mudah melepaskan pernikahan mereka.
"Suami Mbak pasti sayang sekali," lanjut pria itu, menunjuk cincin kawin yang masih melingkar di jari Sari.
Sari tersentak. Ia tidak mengenakan cincin sejak perceraiannya. Namun, ketika ia melihat jarinya sendiri, sebuah cincin emas putih dengan ukiran rumit melingkar di sana.
"I-ini bukan..." Sari tergagap, mencoba melepas cincin yang seperti melekat ke kulitnya.
Kasir mini market tiba-tiba berbicara. "Mbak, sudah tiga kali bolak-balik masuk toko. Jadi beli atau tidak?"
Sari mengerjap bingung. Pengemudi ojek itu telah menghilang. Ketika ia keluar dari minimarket, langit telah berubah warna menjadi jingga, seolah waktu telah melompat beberapa jam ke depan.
Di seberang jalan, sosok pengemudi ojek itu berdiri menatapnya. Namun kali ini, wajahnya tidak jelas, seperti dikaburkan oleh jendela basah. Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Semarang, sebelum menghilang.
***
Solo berlalu seperti mimpi samar. Di jembatan layang Salatiga, motornya tiba-tiba mati. Kabut semakin tebal, menyelubungi jembatan. Suara-suara aneh berbisik dari dalam kabut—suara tawa anak-anak, tangisan perempuan, dan gumaman pria tua.
Dari kejauhan, sosok seorang pemuda berjalan mendekat. Siluetnya semakin jelas setiap langkah.
"Andi?" bisik Sari, tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Pemuda itu tersenyum hangat. Wajahnya persis seperti yang Sari ingat—Andi, cinta pertamanya yang meninggal dalam kecelakaan motor dua belas tahun lalu. Ia masih terlihat berusia 18 tahun, seolah waktu membeku untuknya.
"Hai, Sari," sapa Andi, suaranya bergema. "Akhirnya kau sampai juga."
"Kau... kau tidak mungkin nyata," bisik Sari.
"Sama sepertimu," jawab Andi tenang. "Kita semua di sini adalah bayangan dari apa yang pernah ada, atau apa yang mungkin ada."
"Andi..." Air mata Sari jatuh. "Aku merindukanmu."
"Aku tahu," sahut Andi tersenyum sedih. "Tapi aku bukan alasanmu untuk datang ke sini, dan bukan juga alasanmu untuk tinggal."
"Kau tahu kenapa aku ke Semarang?"
"Tentu. Kau ingin melihat Rama dengan perempuan barunya. Kau ingin memastikan bahwa dia bahagia tanpamu, sehingga kau punya alasan untuk melepaskannya—atau mungkin, untuk membencinya."
Kata-kata itu menghantam Sari seperti batu. Ia tidak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
"Ada bagian dari dirimu yang berharap melihatnya menderita. Ada bagian dari dirimu yang berharap dia masih mencintaimu."
"Itu tidak benar," bantah Sari lemah.
"Kalau begitu mengapa kau masih mengenakan cincin kawinmu di dunia ini?" Andi menunjuk cincin di jari Sari yang kini terlihat berkarat, emas putihnya menghitam seperti terbakar.
"Semarang bukanlah tujuan sebenarnya, Sari," kata Andi lembut. "Itu hanya tempat di mana kau berpikir bisa menemukan jawaban. Tapi jawaban yang kau cari ada di sini." Ia menunjuk dada Sari.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Sari, suaranya bergetar.
"Putuskan, Sari. Tidak ada yang bisa menempuh dua jalan sekaligus. Kau harus memilih—kembali ke kehidupanmu dengan semua lukanya, atau melanjutkan perjalanan ke tempat yang tak pernah kembali."
"Apa kau di sana? Di tempat yang tak pernah kembali itu?"
"Aku di mana-mana dan tidak di mana-mana," jawab Andi tersenyum misterius. "Aku hanya ingatan yang kau simpan, cinta yang kau kenang."
Kabut mulai berputar cepat di sekeliling mereka, seperti tornado putih. Suara-suara semakin keras—tangisan, tawa, teriakan, semuanya bercampur menjadi satu kakofoni yang memekakkan telinga.
"Waktumu hampir habis," peringat Andi. "Ketika matahari terbit di Semarang, semua akan ditentukan."
"Ingat, Sari—kadang-kadang, untuk mendapatkan kehidupan baru, kita harus rela melepaskan kehidupan sebelumnya."
Sebelum Sari sempat bertanya lebih jauh, Andi telah lenyap, ditelan kabut yang berputar. Ketika kabut akhirnya menghilang, Sari menemukan dirinya masih di jembatan. Ninja hijaunya berdiri tegak, mesinnya mendengkur halus seolah tidak pernah mati.
***
Benteng Pendem menjulang di kejauhan ketika Sari memasuki Ambarawa. Ia menepi di sebuah warung makan untuk beristirahat sejenak.
Warung itu hampir kosong, hanya ada seorang pria paruh baya yang duduk di pojok, membaca koran lama.
"Perjalanan panjang, ya?" sapa pria itu.
Sari mengangguk lelah. "Dari Kediri."
"Dan sekarang hampir sampai Semarang. Tapi apakah kau sudah siap untuk apa yang menantimu di sana?"
"Anda siapa?"
"Aku Darma, penjaga gerbang terakhir."
"Gerbang terakhir?"
"Antara kehidupan lamamu dan kehidupan barumu." Pak Darma mengeluarkan sebuah amplop coklat dari sakunya. "Ini adalah peta untuk jalan pulangmu, Sari."
Sari menerima amplop itu. Di dalamnya terdapat selembar kertas kosong.
"Kosong," gumam Sari bingung.
"Karena kau belum menuliskan ceritamu sendiri," jawab Pak Darma. "Kertas itu adalah halaman baru dari buku kehidupanmu."
"Tapi bagaimana cara mengisinya?"
"Dengan keputusan yang kau buat hari ini." Pak Darma menunjuk ke luar jendela. "Ketika matahari tepat di atas kepala, waktu akan berakhir. Kau harus memutuskan sebelum itu."
"Selama ini kau hanya setengah hidup, Sari. Tubuhmu di dunia, tapi jiwamu mengembara. Inilah saatnya menyatukan keduanya, atau melepaskan semuanya."
Sari meremas kertas kosong itu. "Bagaimana caranya aku memutuskan?"
"Kau sudah tahu jawabannya. Itu sebabnya kau melakukan perjalanan ini. Bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk mengakui jawaban yang sudah kau temukan."
Sari menatap keluar jendela, ke arah Semarang yang semakin dekat. "Dan jika aku memutuskan untuk kembali?"
"Maka kau harus melepaskan semua yang menahanmu di dunia ini—rasa bersalah, penyesalan, dan terutama, kenanganmu tentang Rama."
Air mata Sari jatuh ke atas kertas kosong. Tiba-tiba, di atas kertas itu mulai muncul tulisan—tulisan dengan tinta merah yang seolah muncul dari dalam kertas itu sendiri.
"Aku memilih hidup. Aku memilih melepaskan masa lalu. Aku memilih untuk melanjutkan."
Tinta merah itu berkilau di bawah cahaya matahari, seperti darah segar yang baru menetes.
"Itu tulisanku," bisik Sari. "Tapi aku tidak menulis apapun."
"Hatimu yang menulis, Sari. Hatimu sudah membuat keputusan, bahkan sebelum pikiranmu menyadarinya."
Pak Darma berdiri, wajahnya berubah menjadi lebih muda, lebih cerah. "Selamat datang kembali ke kehidupan, Sari."
Lantai warung makan itu tiba-tiba bergetar hebat. Dinding-dindingnya retak, memperlihatkan cahaya putih yang menyilaukan. Suara dengung rendah memenuhi udara, semakin keras hingga telinga Sari terasa akan pecah.
"Apa yang terjadi?" teriak Sari.
"Dunia ini runtuh," jawab Pak Darma tenang. "Kau telah membuat keputusan. Sekarang, kembalilah."
Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan, menelan segalanya.
***
Suara monitor jantung menyapa pendengaran Sari. Perlahan, ia membuka matanya. Cahaya putih rumah sakit membutakan sesaat.
Ibunya tertidur di kursi di samping ranjang, tangannya menggenggam erat tangan Sari. Wajahnya lelah, dengan kerutan baru yang tidak Sari ingat.
"Ibu?" panggil Sari, suaranya serak.
Ibunya tersentak bangun, matanya melebar. "Ya Allah, Sari! Kau kembali!"
Air mata bahagia mengalir di pipi tuanya. Ia memeluk Sari erat, seolah takut putrinya akan menghilang lagi.
"Dokter!" teriak ibunya. "Dokter, anak saya sadar!"
Dalam sekejap, ruangan dipenuhi oleh dokter dan perawat. Dokter Anwar memeriksa pupil dan denyut nadinya.
"Ini luar biasa," gumamnya. "Pasien yang koma tiga bulan biasanya tidak langsung sadar sepenuhnya seperti ini."
"Berapa lama saya koma, Dok?" tanya Sari.
"Tiga bulan, dua minggu, empat hari," jawab dokter itu. "Jantungmu sempat berhenti selama tiga menit. Kami hampir kehilanganmu."
Sari menatap jendela, melihat langit senja yang membentang di luar. Di pergelangan tangannya, jam masih menunjukkan pukul 08:15—jam yang sama ketika kecelakaan itu terjadi. Namun kini, jarum detiknya kembali berdetak normal.
Sari menyadari sesuatu. Ia meraih tangan kirinya, memeriksa jari manisnya. Tidak ada cincin. Memang tidak pernah ada.
"Ibu selalu di sini?" tanya Sari.
"Setiap hari," jawab ibunya. "Ibu tahu kau akan kembali."
***
Satu tahun berlalu, Sari berdiri di depan sebuah rumah kecil dengan halaman hijau yang asri. Tangannya menggenggam kunci rumah yang baru saja ia beli dari hasil kerja kerasnya sebagai desainer lepas selama setahun terakhir.
Seekor anjing golden retriever berlari menghampirinya, ekornya bergoyang riang. Di belakangnya, seorang pria tinggi berjalan santai.
"Sudah siap untuk masuk ke rumah baru kita?" tanya pria itu—Bima, dokter muda yang ia kenal enam bulan lalu ketika datang kontrol ke rumah sakit.
Sari tersenyum, menatap tanggal di ponselnya. 26 April 2026. Persis seperti di foto polaroid yang ia temukan di perjalanan dunia itu.
"Sangat siap," jawab Sari, mengecup pipi Bima.
Sari menatap bekas luka di pergelangan tangannya yang kini hampir tidak terlihat. Bekas luka yang mengingatkannya pada pilihan yang ia buat—pilihan untuk hidup, untuk melepaskan masa lalu, untuk melanjutkan.
Di belakang rumah, matahari terbenam dengan indahnya, melukis langit dengan warna jingga dan merah. Ninja hijau kesayangannya terparkir rapi di garasi terbuka, bersebelahan dengan motor tril milik Bima.
Sari mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara senja yang hangat memenuhi paru-parunya. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa utuh.
Perjalanan panjangnya telah berakhir. Dan perjalanan baru telah dimulai. [*]
*) Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri, kembali menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat tanpa akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes ponsel sebelum tidur.
Komentar
Posting Komentar